Senin, 09 Januari 2012

PERKEMBANGAN MORAL DAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia dalam perspektif merupakan individu, keluarga atau masyarakat yang memiliki masalah moral, spirual dan membutuhkan bantuan untuk dapat memelihara, mempertahankan dan meningkatkan spiritualnya dalam kondisi optimal. Sebagai seorang manusia, manusia memiliki beberapa peran dan fungsi seperti sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Berdasarkan hakikat tersebut, maka perkembangan memandang manusia sebagai mahluk yang holistik yang terdiri atas aspek fisiologis, psikologis, sosiologis, kultural dan spiritual.
Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada salah satu diantara dimensi di atas akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan kultural merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Tiap bagian dari individu tersebut tidaklah akan mencapai kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian tersebut sejahtera. Kesadaran akan pemahaman tersebut melahirkan keyakinan dalam psikologi perkembangan anak bahwa pemberian asuhan spiritual hendaknya bersifat komprehensif atau holistik, yang tidak saja memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan kultural tetapi juga kebutuhan spiritual manusia. Sehingga, pada nantinya manusia akan dapat merasakan kesejahteraan yang tidak hanya terfokus pada fisik maupun psikologis saja, tetapi juga kesejateraan dalam aspek spiritual. Kesejahteraan spiritual adalah suatu faktor yang terintegrasi dalam diri seorang individu secara keseluruhan, yang ditandai oleh makna dan harapan. Spiritualitas memiliki dimensi yang luas dalam kehidupan seseorang sehingga dibutuhkan pemahaman yang baik dari psikologi sehingga mereka dapat mengaplikasikannya dalam pemberian asuhan psikologi kepada manusia. 
B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini dapat di rumuskan beberapa masalah, yaitu :
1.      Bagaimana perkembamngan moral peserta didik.?
2.      Bagaimana perkembangan spiritual peserta didik.?
3.      Bagaiman implikasi perkembangan moral dan spiritual terhadap pendidikan.?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perkembangan Moral Peserta Didik
Pengertian Moral
Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan.  Begitu pula kata moralis dalam dunia ilmu lalu dihubungkan  dengan scientia dan berbunyi scientis moralis,  atau philosophia moralis.  Karena biasanya orag-orang telah mengetahui bahwa pemakaian selalu berhubungan deangan kata-kata yang mempunyai arti ilmu.  Maka untuk mudahnya disingkat jadi moral. Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (Santroch, 1995) . Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral) akan tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (orang tua, saudara, teman sebaya atau guru), anak belajarr memahami tingkah laku mana yang buruk atau tidak boleh dilakkan dan mana yang baik atau boleh dilakukan.
Teori perkembangan moral menutut Kholberg
Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap yaitu:
1.      Tingkat Satu : Penalaran Prakonvesional
 Penalaran prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal.
Tahap 1 : Orientasi hukuman dan ketaatan ialah tahap pertama dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini perkembangan moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
Tahap 2: Individualisme dan tujuan adalah tahap kedua dari teori ini. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan pada imbalan dan kepentingan diri sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
2.      Tingkat Dua: Penalaran Konvensional
Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori perkembangan moral Kohlberg. Internalisasi individu pada tahap ini adalah menengah. Seorang mentaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak mentaati standar-standar (internal) orang lain, seperti orangtua atau masyarakat.
Tahap 3: Norma-norma interpersonal, pada tahap ini seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan pada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak anak sering mengadopsi standar-standar moral orangtuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oelh orangtuanya sebagai seorang perempuan yang baik atau laki-laki yang baik.
Tahap 4: Moralitas sistem sosial. Pada tahap ini, pertimbangan moral didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
3.      Tahap Tiga: Penalaran Pascakonvensional
Penalaran pascakonvensional adalah tingkat tertinggi dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seorang mengenal tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.
Tahap 5: Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual, pada tahap ini seseorang mengalami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain. Seseorang menyadari hukum penting bagi masyarakat, tetapi nilai-nilai seperti kebebasan lebih penting dari pada hukum.
Tahap 6: Prinsip-prinsip etis universal, pada tahap ini seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia yang universal. Bila menghadapi konflik secara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko pribadi.
B.     Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Pengertian spiritual
Spiritual berasal dari bahasa latin “spiritus” yang berarti nafas atau udara, spirit memberikan hidup, menjiwai seseorang. Spiritual meliputi komunikasi dengan Tuhan (fox 1983), dan upaya seseorang untuk bersatu dengan Tuhan (Magill dan Mc Greal 1988), spiritualitas didefinisikan sebagai suatu kepercayaan akan adanya suatu kekuatan atau suatu yang lebih agung dari dirisendiri (Witmer 1989).
Karakteristik spiritual
Karakteristik spiritual yang utama meliputi perasaan dari keseluruhan dan keselarasan dalam diri seorang, dengan orang lain, dan dengan Tuhan atau kekuatan tertinggi sebagai satu penetapan. Orang-orang, menurut tingkat perkembangan mereka, pengalaman, memperhitungkan keamanan individu, tanda-tanda kekuatan, dan perasaan dari harapan. Hal itu tidak berarti bahwa individu adalah puas secara total dengan hidup atau jawaban yang mereka miliki. Seperti setiap hidup individu berkembang secara normal, timbul situasi yang menyebabkan kecemasan, tidak berdaya, atau kepusingan. Karakteristik kebutuhan spiritual meliputi:
a.       Kepercayaan
b.      Pemaafan
c.       Cinta dan hubungan
d.       Keyakinan, kreativitas dan harapan
e.        Maksud dan tujuan serta anugrah dan harapan.
Karakteristik dari kebutuhan spiritual ini menjadi dasar dalam menentukan karakteristik dari perubahan fungsi spiritual yang akan mengrahkan individu dalam berperilaku, baik itu kearah perilaku yang adaptif maupun perilaku yang maladaptif.
perkembangan aspek spiritual berdasarkan tumbuh-kembang manusia. Perkembangan spiritual pada anak sangatlah penting untuk diperhatikan.
1.      Individu yang berusia antara 0-18 bulan,  Bayi yang sedang dalam proses tumbuh kembang, yang mempunyai kebutuhan yang spesifik (fisik, psikologis, sosial, dan spiritual) yang berbeda dengan orang dewasa. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungan, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri. Tahap awal perkembangan manusia dimulai dari masa perkembangan bayi. Haber (1987) menjelaskan bahwa perkembangan spiritual bayi merupakan dasar untuk perkembangan spiritual selanjutnya. Bayi memang belum memiliki moral untuk mengenal arti spiritual. Keluarga yang spiritualnya baik merupakan sumber dari terbentuknya perkembangan spiritual yang baik pada bayi.
2.      Dimensi spiritual mulai menunjukkan perkembangan pada masa kanak-kanak awal (18 bulan-3 tahun). Anak sudah mengalami peningkatan kemampuan kognitif. Anak dapat belajar membandingkan hal yang baik dan buruk untuk melanjuti peran kemandirian yang lebih besar. Tahap perkembangan ini memperlihatkan bahwa anak-anak mulai berlatih untuk berpendapat dan menghormati acara-acara ritual dimana mereka merasa tinggal dengan aman. Observasi kehidupan spiritual anak dapat dimulai dari kebiasaan yang sederhana seperti cara berdoa sebelum tidur dan berdoa sebelum makan, atau cara anak memberi salam dalam kehidupan sehari-hari. Anak akan lebih merasa senang jika menerima pengalaman-pengalaman baru, termasuk pengalaman spiritual.
3.      Perkembangan spiritual pada anak masa pra sekolah (3-6 tahun) berhubungan erat dengan kondisi psikologis dominannya yaitu super ego. Anak usia pra sekolah mulai memahami kebutuhan sosial, norma, dan harapan, serta berusaha menyesuaikan dengan norma keluarga. Anak tidak hanya membandingkan sesuatu benar atau salah, tetapi membandingkan norma yang dimiliki keluarganya dengan norma keluarga lain. Kebutuhan anak pada masa pra sekolah adalah mengetahui filosofi yang mendasar tentang isu-isu spiritual. Kebutuhan spiritual ini harus diperhatikan karena anak sudah mulai berfikiran konkrit. Mereka kadang sulit menerima penjelasan mengenai Tuhan yang abstrak, bahkan mereka masih kesulitan membedakan Tuhan dan orang tuanya.
4.      Usia sekolah merupakan masa yang paling banyak mengalami peningkatan kualitas kognitif pada anak (6-12 tahun).  Anak usia sekolah (6-12 tahun) berfikir secara konkrit, tetapi mereka sudah dapat menggunakan konsep abstrak untuk memahami gambaran dan makna spriritual dan agama mereka. Minat anak sudah mulai ditunjukan dalam sebuah ide, dan anak dapat diajak berdiskusi dan menjelaskan apakah keyakinan. Orang tua dapat mengevaluasi pemikiran sang anak terhadap dimensi spiritual mereka.
5.       Remaja (12-18 tahun). Pada tahap ini individu sudah mengerti akan arti dan tujuan hidup, Menggunakan pengetahuan misalnya untuk mengambil keputusan saat ini dan yang akan datang. Kepercayaan berkembang dengan mencoba dalam hidup. Remaja menguji nilai dan kepercayaan orang tua mereka dan dapat menolak atau menerimanya. Secara alami, mereka dapat bingung ketika menemukan perilaku dan role model yang tidak konsisten. Pada tahap ini kepercayaan pada kelompok paling tinggi perannya daripada keluarga. Tetapi keyakinan yang diambil dari orang lain biasanya lebih mirip dengan keluarga, walaupun mereka protes dan memberontak saat remaja. Bagi orang tua ini merupakan tahap paling sulit karena orang tua melepas otoritasnya dan membimbing anak untuk bertanggung jawab. Seringkali muncul konflik orang tua dan remaja. 
6.       Dewasa muda (18-25 tahun). Pada tahap ini individu menjalani proses perkembangannya dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual, memikirkan untuk memilih nilai dan kepercayaan mereka yang dipelajari saaat kanak-kanak dan berusaha melaksanakan sistem kepercayaan mereka sendiri. Spiritual bukan merupakan perhatian utama pada usia ini, mereka lebih banyak memudahkan hidup walaupun mereka tidak memungkiri bahwa mereka sudah dewasa.
7.      Dewasa pertengahan (25-38 tahun). Dewasa pertenghan merupakan tahap perkembangan spiritual yang sudah benar-benar mengetahui konsep yang benar dan yang salah, mereka menggunakan keyakinan moral, agama dan etik sebagai dasar dari sistem nilai. Mereka sudah merencanakan kehidupan, mengevaluasi apa yang sudah dikerjakan terhadap kepercayaan dan nilai spiritual.
8.      Dewasa akhir (38-65 tahun). Periode perkembangan spiritual pada tahap ini digunakan untuk instropeksi dan mengkaji kembali dimensi spiritual, kemampuan intraspeksi ini sama baik dengan dimensi yang lain dari diri individu tersebut. Biasanya kebanyakan pada tahap ini kebutuhan ritual spiritual meningkat. 
9.       Lanjut usia (65 tahun sampai kematian). Pada tahap perkembangan ini, menurut Haber (1987) pada masa ini walaupun membayangkan kematian mereka banyak menggeluti spiritual sebagai isu yang menarik, karena mereka melihat agama sebagai faktor yang mempengaruhi kebahagian dan rasa berguna bagi orang lain. Riset membuktikan orang yang agamanya baik, mempunyai kemungkinan melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi lansia yang agamanya tidak baik menunjukkan tujuan hidup yang kurang, rasa tidak berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan dan rasa takut mati. Sedangkan pada lansia yang spiritualnya baik ia tidak takut mati dan dapat lebih mampu untuk menerima kehidupan. Jika merasa cemas terhadap kematian disebabkan cemas pada proses bukan pada kematian itu sendiri.  Dimensi spiritual menjadi bagian yang komprehensif dalam kehidupan manusia. Karena setiap individu pasti memiliki aspek spiritual, walaupun dengan tingkat pengalaman dan pengamalan yang berbeda-beda berdasarkan nilai dan keyaninan mereka yang mereka percaya. Setiap fase dari tahap perkembangan individu menunjukkan perbedaan tingkat atau pengalaman spiritual yang berbeda.

C.    Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual Terhadap Pendidikan

Beberapa strategi yang mungkin dapat dilakukan guru disekolah dalam membantu perkembangan moral dan spiritual peserta didik, yaitu :
1.                  Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kerikulum tersembunyi, yakni menjadi sekolah sebagai atmosfer moral dan agama secara keseluruhan. Atmoisfer disini termasuk peraturan sekolah dan kelas, sikap terhadap kegiatan akademik dan ekstrakurikuler, orientasi moral yang dimiliki gura dan pegawai serta materi teks yang digunakan. Terutama guru dalam hal ini harus mampu menjadi model tingkah laku yanmg mencerminkan nilai-nilai moral dan agama. Tanpa adanya model tingkah laku yang baik dari guru, maka pendidikan moral dan agama yang diberikan disekolah tidak akan efektif menjadi peserta didik yang moralis dan religious.
2.                  Memberikan pendidikan moral langsung, yakni pendidikan m oral dengan pendekatan pada nilai dan juga sifat selama jangka waktu tertenyu, atau menyatukan nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut kedalam kurikulum. Dalam pendekatan ini, intruksi dalam konsep moral tertentu dapat mengambil bentuk dalam contoh dan definisi, diskusi kelas dan bermain peran, atau member penghargaan kepada siswa yang berperilaku secara tepat.
3.                  Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai, yaitu pendekatan moral tidak langsung yang berfokus pada upaya membantu siswa memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk dicari. Dalam klarifikasi nilai, siswa diberikan pertanyaan dan mereka diharapkan untuk member tanggapan, baik secara individual maupun secara kelompok.tujuannya adalah untuk menolong siswa menentukan nilai mereka sendiri dan menjadi peka terhadap nilai yang di dapat oleh orang lain.
4.                  Menjadikan pendidikan sebagai wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya, tidak hanya sekedar bersifat teoritis tetapi penghayatan yang benr-benar dikontruksi dari pengalaman keberagamaan. Oleh sebab itu, pendidikan agama yang dilangsungkan disekolah harus lebih menekankan pada penempatan peserta didik untuk mencari pengalaman keberagamaan. Dengan demikian maka yang ditonjolkan dalam pendidikan agama adalah ajaran dasar agama yang asarta dengan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas seperti kedamaian dan keadilan.
5.                  Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual parenting, seperti :
Ø  Memupuk hubungan sadar anak dengan Tuhan melalui do’a setiap hari
Ø  Menanyakan kepada anak bagaimana Tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari
Ø  Memberikan kesadaran kepada anak bahwa Tuhan akan membimbing kita apabila kita meminta
Ø  Menyuruh anak merenungkan bahwa Tuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat diri merekatumbuh atau mendengar darah mereka mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka tidak melihat apapun.







BAB III
KESIMPULAN

Dari penjelasan makalah di atas dapat di simpulkan sebagai berikut :
1.       Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (Santroch, 1995).
2.       Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap yaitu: Penalaran Prakonvesional, Penalaran Konvensional, Penalaran Pascakonvensional
3.       spiritualitas didefinisikan sebagai suatu kepercayaan akan adanya suatu kekuatan atau suatu yang lebih agung dari dirisendiri (Witmer 1989).
4.       Karakteristik kebutuhan spiritual meliputi: Kepercayaan, Pemaafan, Cinta dan hubungan, Keyakinan, kreativitas dan harapan, Maksud dan tujuan serta anugrah dan harapan.
5.       Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual Terhadap Pendidikan diantaranya sebagai berikut : Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kerikulum, Memberikan pendidikan moral langsung, Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai, Menjadikan pendidikan sebagai wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya,  Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual parenting.









DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Tahap_perkembangan_moral_Kohlberg
Desmitha,2010.Psikologi perkembangan peserta didik.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar